Selasa, 31 Januari 2012

Swastanisasi Pariwisata

Pengalaman apes lagi2 menghampiriku saat berniat mengunjungi sebuah pantai di ibukota. Pikirku, sekali2lah liburan jauh. Biar bisa refresh juga. Jauhnya perjalanan dari daerah pun akhirnya "terbayar", dengan pahit, ketika aku melihat bea masuk ke pantai tersebut. Cukup wow untuk ukuran kantongku. Kepaksa dengan pasrah aku batakan niat mendatangi pantai tersebut. Cukuplah aku foto2 di depan gerbangnya aja. Paling nggak biar dikira udah pernah masuk. Padahal (rasane anyel dab)...

Sebenarnya, mungkin lebih banyak orang2 yang bernasib lebih ngenes daripada nasibku. Ada orang yang ga kuat mbayar untuk sekadar naik odong2. Ada orang yang ga bisa ndatengin obyek2 wisata yang gratis karna berat di transport. Ada orang yang memilih merokok untuk "mengganjal" perutnya, karena nasi tak terbeli, apalagi buat wisata (tuku sego wae ra mampu, ngapain sok2an wisata). Serta masih banyak lagi orang2 yang ngenes2 nasibe.

Sebenarnya pula, mungkin banyak obyek2 wisata ternama yang lebih "mengenaskan" nasibnya, dibandingkan pantai tadi. Banyak obyek wisata kehilangan fungsinya antara lain sebagai sarana pelebur status sosial dan sarana pelepas lelah penat masyarakat dari rutinitas. Tempat2 tersebut sekarang malah jadi sarana PENEGAS status sosial masyarakat semata. Terbukti dengan dibukanya keran bagi swasta untuk mengelola dan mendirikan obyek2 wisata ditambah keengganan pemerintah untuk mengelola obyek2 wisata dengan serius, hanya kaum the have-lah yang kini bisa mengakses obyek wisata berkualitas.

Ini memang kenyataan pahit. Disaat pemerintah (katanya) tidak punya cukup dana untuk mengelola obyek wisata dengan layak, swasta mengulurkan tangan, menyunginggkan senyum manis, menawarkan kesanggupannya. Tentu saja swasta bersedia bukan dengan tujuan utama alasan sosial. Dengan demikian, obyek wisata pun dikelola secara komersil. Pepatah jawanya, "Yen kowe nduwe duit, mlebuo. Yen kowe ora nduwe duit, minggato" (Kalo kamu punya uang, silakan masuk. Kalo kamu ga punya uang, silakan pergi). Damput rak ki?

Kaum marginal jelas makin tersudut dalam kondisi ini. Idiom "orang miskin dilarang sakit dan sekolah" mungkin kini kurang tepat lagi. Harusnya ditambah hingga menjadi "orang miskin dilarang sakit, sekolah, dan refreshing." Mereka yang sudah dihimpit tekanan hidup bertubi2, masih harus didiskrimansikan dalam hal rekreasi. Sarana2 kota yang selama ini menjadi pelampisan penat mereka, perlahan satu persatu mulai dikelola swasta. Perlahan, mereka "dibunuh".

Mungkin ini salah satu terobosan baru negara untuk mengurangi angka kemiskinan dengan biaya rendah. Mungkin pula ini tantangan agar kaum miskin bisa termotivasi menjadi kaya sehingga bisa berwisata. Atau mungkin pula ini merupakan bentuk apresiasi pemerintah bagi kaum berada yang dengan usahanya mereka secara tidak langsung telah membuat ranking perekonomian Indonesia tinggi.
Mungkinkah? Mungkinkah itu semua? Mungkin saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar