Senin, 06 Februari 2012

Save Our Palestine

Saat lagi jalan2 di sebuah bazar buku, gatau kenapa aku ngerasa tertarik ngeliat-liat stan yang jual stiker2 yang isinya slogan2 dukungan untuk Palestina. Hm, bagus2 n kreatif sih. Ada yang cuma bergambar bendera Palestina, ada yang ditambah pake tulisan2 kayak, "Save Palestine" atau malah "Save Our Palestine." Sampe di slogan yang terakhir aku agak mikir. Our Palestine? Our? Logikaku mulai muter2 gaje. Is Palestine part of us? Since when?

Tapi aku ga mikir lebih jauh lagi. Aku lanjutin muter2 ngeliat buku2 yang ada di pameran itu. Ga lama kemudian, aku kepengen baca2 buku di salah satu stand. Isi bukunya seputar teori2 konspirasi yang ngelibatin Israel, Yahudi, dsb. Batinku sih, preketek amat ma yang gituan. Orang negaranya juga jauh dari sini, bukan negaraku lagi. Tapi gatau kenapa aku baca juga tu buku. Habis puas baca2, aku pulang.

Dalam perjalanan ke parkiran lagi2 gatau kenapa, aku kepikiran lagi. Iya ya, sekarang nun jauh di mato, Israel dengan Palestino sedang berperang yo (logat opo neh iki). Tapi orang2 disini ternyata interest juga ma perang 2 negara itu. Malah ga cuman interest, orang2 sini ternyata udah njago juga (koyok bal2an wae). Setauku mayoritas sih ndukung Palestina. Gatau apa ada juga yang ndukung Israel. Ooo, baru terus aku paham kenapa tadi ada stiker yang tulisannya "Save Our Palestine". Aku paham juga kenapa ada buku teori konspirasi yang isinya mojok2in Israel. Ternyata itu gambaran mayoritas orang Indonesia yang mayoritas ndukung Palestina. (Atau mungkin mayoritas orang di bazar buku doang ya?) Emang orang Indonesia itu kalo njago udah mental suporter bola banget. Yang didukung, dukungannya ampe mati. Yang dimusuhi juga sama, dimusuhinya ampe mati. Sampe2 mungkin kalo entar yang dimusuhi matinya masuk surga, orang2 Indonesia pada gamau kali ya masuk surga, hehe. Just joke..

Yah, aku gatau kenapa sih kenapa orang Indonesia lebih milih njago Palestina. Orang pada ribut2 politik rebutan wilayah juga malah ada yang dijagoin. Padahal kalo buat aku sih semoga entar 2 negara tu mau paroan wilayah aja, mungkin contonya kayak Korea sekarang. Soalnya, dua2nya sama2 kasian juga sih. Sama2 bangsa yang keusir dari wilayahnya sendiri. Lagian dari dua pihak pasti banyak yang mati juga, kerugiannya juga sama2 banyak, dan kalo sama2 maksain ego pasti perang ini beneran ga bakal kelar biar sampe kiamat. Yah, biar masalah juga kelar, sama2 ga perlu ngangkat2 senjata lagi, juga ga perlu lagi ngangkat2 kitab suci segala. (Agak heran juga sih, udah jelas2 masalahnya politik kenapa kadang agama dibawa2.) Biar segera jadi 2 negara yang aman, tentram, gemah ripah loh jinawi.

Minggu, 05 Februari 2012

Fokus pada Amanah

Ketiduran. Hujan. Ban bocor. Itu adalah alasan2 yang lazim n gampang aku ucapkan ketika pada suatu waktu aku nggak bisa mengemban tugas yang dipercayakan padaku. Sepele, tapi tetap saja dijadikan alasan pembenar. Beneran konyol sikapku yang satu ini.

Kalo di-flesbek (baca: flashback) dikit ke belakang, dulu aku rajin banget ikut ini itu. Ada oprek satu, ikut. Ada oprek lain, ikut lagi (bahkan sampe saat ini masih kek gitu). Jadi simpelnya, nggak ada orang yang bisa bilang aku ini mahasiswa apatis. Hehe.. Karena itulah sekarang aku bisa terdaftar di banyak banget kegiatan organisasi. Yang jadi masalah baru keliatan sekarang, karena manajemen waktu yang kaco, sering ada beberapa tugas yang terbengkelai. Aku nggak bisa fokus.

Padahal, hampir di setiap wawancara yang aku ikutin, pasti selalu ditanya komitmen. Aku jadi ngerasa munafik kalo inget pas oprek2 aku slalu ngeyakinin pewawancara masalah komitmenku, tapi sekarang jadinya kayak gini. Kalo udah lolos satu oprek bukannya seneng, trus fokus, aku malah langsung cabut cari oprekan lain. Seolah2 aku cuman ngejar status doang dari ikut kegiatan di sana-sini. Status yang nggak dibarengin ama peran (ini kenapa jadi kayak materi sosiologi SMA ya?). Aku jadi ngerasa bersalah sama semua jenis kegiatan yang aku ikutin. Kalo pengen gentle sih, harusnya aku udah keluar dari semua kegiatan itu sekarang. Tapi aku nggak. Aku terlalu takut mati bosen nggak punya kegiatan buat dikerjain.

Setelah aku refleksiin, baru aku tersadar kalo emang bener banyak kegiatan menarik (backsound: Akhirnya). Bener juga kalo aku bisa aja cocok ama semua kegiatan-kegiatan itu. Apalagi ditambah kalo lagi tahap adventure buat nemuin bakat ato kemampuan. Tapi yang sering dilupain, aku lupa kalo ga mungkin aku ikutin semuanya itu DALAM SATU WAKTU.

Karena itu, aku mikir lagi. Mungkin emang ada kegiatan2 yang secara gentle harus aku depak dari jadwal keseharianku. Supaya pada akhirnya juga, aku bisa bener2 komit dan konsen maksimal ama kegiatan yang aku ikutin. Jujur aku sendiri masih mempertanyakan konsepsi tentang dosa, tapi apa nggak dosa coba kalo ada orang yang diserahin banyak amanah, tapi nggak ada yang beres? (Yep, ini cuman ngritik diri sendiri kok.)

Jadi mending sekarang aku nyanggupin beberapa kegiatan, beberapa amanah aja, supaya aku bisa tetep njaga fokus. Sedangkan buat kegiatan2 yang lain, maybe we can meet again at another chance. :)

Kamis, 02 Februari 2012

Legowo

Seorang teman menceritakan, pada saat ia sedang mengantre tiket KA, ia tiba2 diserobot oleh nenek2. Teman ini mencoba menegur nenek tersebut dengan halus, bahwa beliau juga seharusnya mengantre dari belakang, seperti calon penumpang lainnya. Eh, ternyata nenek2 ini malah mencak2 kepada teman tersebut. "Saya ini cuma berdua sama cucu saya, dan dia sudah mau pingsan!" sambil tetap bertahan di barisannya. Teman ini pun terkejut, dan seketika itu juga malah merasa kasihan pada cucu si nenek. Perlahan2 ia bertanya pada si nenek dimana cucunya berada dan apakah ia sudah makan. Nenek itupun menjawab, "Dia yang disana itu, dari kemarin belum makan dan sekarang mau pingsan (bla bla bla, cuih cuih, hoekkk...)," sambil menunjuk ke arah tertentu dan olala.. Cucu yang dimaksud si nenek ternyata kira2 sudah seumur anak kelas 3 SMP dan ia dalam keadaan segar walaupun belum makan. Dan bisa2nya si nenek tega menjadikan cucunya sebagai alasan pembenar ia menerobos antrian tiket yang saat itu memang sudah mengular. Naudzubilah.. Tetapi si teman tadi tidak berkata apa2 lagi, dan hanya membatin dalam hati tentang kelakuan si nenek.

Selang beberapa saat kemudian, antrian semakin mengular. Mulai ada mas2 yang mendekati para pengantre, berharap dapat nunut mengantrekan tiket untuk dirinya. Ketika mas2 tadi menghampiri si nenek, ia mendapat jawaban ketus yang cukup keras untuk didengar orang-orang di sekeliling, "Ya antre dari belakang dong mas, yang lain sudah susah2 antre, mosok situ mau enak2an nyerobot?" Sampai disini aku udah ga inget lagi lanjutan cerita dari si teman tadi, karena aku udah ngakak guling2.

Banyak momen dalam hidup ini yang memaksa kita harus memaksa kita bersikap legowo (berbesar hati). Karena memang seringkali panggung kehidupan ini menyajikan parodi yang satir. Kemunafikan tersaji dimana2, di saat kata dan tindakan tak lagi satu. Alasan pembenar selalu siap dimuntahkan bak peluru di bibir tiap2 orang. Tetapi hanya kebijaksanaanlah yang tampaknya mampu membuat kita tetap menertawakan keadaan yang menimpa dan kembali menceritakannya dalam suasana tawa.

(Wah2, aku bijaksana yo brarti? Cocotmu kui, bijaksana kok misuhan. Sing bijaksana ki yo koncomu karo penumpang2 kae, diserobot simbah2 ora nesu. Jal nek koe sing diserobot, mesti ora mikir dowo koe langsung ngomong, "Jancuk!") -Percakapan antara saya dengan seorang bijak,

bijak yang misuhan juga; entah siapa-

Selasa, 31 Januari 2012

Swastanisasi Pariwisata

Pengalaman apes lagi2 menghampiriku saat berniat mengunjungi sebuah pantai di ibukota. Pikirku, sekali2lah liburan jauh. Biar bisa refresh juga. Jauhnya perjalanan dari daerah pun akhirnya "terbayar", dengan pahit, ketika aku melihat bea masuk ke pantai tersebut. Cukup wow untuk ukuran kantongku. Kepaksa dengan pasrah aku batakan niat mendatangi pantai tersebut. Cukuplah aku foto2 di depan gerbangnya aja. Paling nggak biar dikira udah pernah masuk. Padahal (rasane anyel dab)...

Sebenarnya, mungkin lebih banyak orang2 yang bernasib lebih ngenes daripada nasibku. Ada orang yang ga kuat mbayar untuk sekadar naik odong2. Ada orang yang ga bisa ndatengin obyek2 wisata yang gratis karna berat di transport. Ada orang yang memilih merokok untuk "mengganjal" perutnya, karena nasi tak terbeli, apalagi buat wisata (tuku sego wae ra mampu, ngapain sok2an wisata). Serta masih banyak lagi orang2 yang ngenes2 nasibe.

Sebenarnya pula, mungkin banyak obyek2 wisata ternama yang lebih "mengenaskan" nasibnya, dibandingkan pantai tadi. Banyak obyek wisata kehilangan fungsinya antara lain sebagai sarana pelebur status sosial dan sarana pelepas lelah penat masyarakat dari rutinitas. Tempat2 tersebut sekarang malah jadi sarana PENEGAS status sosial masyarakat semata. Terbukti dengan dibukanya keran bagi swasta untuk mengelola dan mendirikan obyek2 wisata ditambah keengganan pemerintah untuk mengelola obyek2 wisata dengan serius, hanya kaum the have-lah yang kini bisa mengakses obyek wisata berkualitas.

Ini memang kenyataan pahit. Disaat pemerintah (katanya) tidak punya cukup dana untuk mengelola obyek wisata dengan layak, swasta mengulurkan tangan, menyunginggkan senyum manis, menawarkan kesanggupannya. Tentu saja swasta bersedia bukan dengan tujuan utama alasan sosial. Dengan demikian, obyek wisata pun dikelola secara komersil. Pepatah jawanya, "Yen kowe nduwe duit, mlebuo. Yen kowe ora nduwe duit, minggato" (Kalo kamu punya uang, silakan masuk. Kalo kamu ga punya uang, silakan pergi). Damput rak ki?

Kaum marginal jelas makin tersudut dalam kondisi ini. Idiom "orang miskin dilarang sakit dan sekolah" mungkin kini kurang tepat lagi. Harusnya ditambah hingga menjadi "orang miskin dilarang sakit, sekolah, dan refreshing." Mereka yang sudah dihimpit tekanan hidup bertubi2, masih harus didiskrimansikan dalam hal rekreasi. Sarana2 kota yang selama ini menjadi pelampisan penat mereka, perlahan satu persatu mulai dikelola swasta. Perlahan, mereka "dibunuh".

Mungkin ini salah satu terobosan baru negara untuk mengurangi angka kemiskinan dengan biaya rendah. Mungkin pula ini tantangan agar kaum miskin bisa termotivasi menjadi kaya sehingga bisa berwisata. Atau mungkin pula ini merupakan bentuk apresiasi pemerintah bagi kaum berada yang dengan usahanya mereka secara tidak langsung telah membuat ranking perekonomian Indonesia tinggi.
Mungkinkah? Mungkinkah itu semua? Mungkin saja.

Jumat, 27 Januari 2012

Dikejar Deadline


Lagi-lagi gara2 kesibukanku yang luar biasa (ceilee..) aku harus kejar2an dengan sahabat karibku, yang bernama deadline. Biasanya sih aku tetep bisa menang di detik2 terakhir. Tapi kali ini, aku bener2 kalah. Skali ini si deadline menang. Pait banget rasanya.

Hal ini dimulai pas aku liputan even. Evennya keren, pengisi acaranya juga keren. Aku ikutin even itu dari awal sampe akhir. Tapi gobloknya, karena habis itu aku ada kesibukan lain, laporan even itu ga bisa aku selesein dalam sehari. Dan otomatis, berita itu jadi basi. Semua catetan liputanku terbuang percuma. Damput tenan!

Eh ralat, dab. Biasanya emang bukan aku juga yang menang. Tapi biasanya si deadline rela untuk ngalah ama sohibnya yang satu ini. Ga cuma skali-dua kali, tapi berkali2 dia ngalah. Sayang, kali ini dia emang harus menang, dan aku harus kalah. Dan sampe sesaat tadi aku masih ngerasa lost gara2 hal ini.

Yep, aku lost. Kosong. Hampa. Gara2 itu aku ga ada motivasi ngapa2in seharian. Sharian hape aku biarin di meja. Sharian aku nonton film tanpa nangkep isinya. Sharian aku sepedaan tanpa tau mau kemana. Sharian aku coba ngelupain deadline. Sharian aku jadi orang yang useless.Aku masih ga percaya aku bisa di-KO ama deadline kali ini. Skali lagi: Dealine damput!

Mencoba bijak, aku mulai sadar kadang2 kita bisa kualat ama temen sendiri. Kayak aku sekarang ini. Dulu ngetawain temen, sekarang diketawain (entah si deadline sekarang lagi ngetawain aku apa ga, tapi kayaknya sih iya). Dulu ngalahin, sekarang dikalahin. Dulu diatas, sekarang di bawah.

Di sisi lain, emang aku kayaknya udah jatah kudu skali2 kalah dari deadline. Biar aku jadi terbiasa kalah, sama halnya kayak aku udah terbiasa menang. Kan kata orang bijak, kebanyakan menang bikin orang jadi arogan, kebanyakan kalah bikin orang jadi minderan. La kalo banyak menang banyak kalah? Jadi orang bijak? Yaa, ga juga sih. Mungkin jadinya malah kayak aku gini, dab. Hehe..

Rabu, 25 Januari 2012

Arabisasi?


Hari ini benar2 sitimewa. Aku berkesempatan melihat penampilan salah satu Ki Dalang eksentrik yang dimiliki Indonesia. (Yang pasti bukan Dalangnya OVJ). Yah, ga perlu sebut merek dah, yang penting orangnya asik dan kocak. Banyolannya sangat khas, selalu menyindir negerinya sendiri. Terkadang pula misuh (berkata kasar). Tapi anehnya dalam pisuhannya aku menemukan berbagai permenungan. Salah satunya saat ia menyinggung mengenai Islamisasi.

Ya, ya, ini topik yang memang menarik. Di negeri ini memang mayoritas rakyatnya memeluk Islam. Tapi mosok iya saking Islamnya (baca: fanatiknya), mata kita njuk jadi blawur, tidak bisa membedakan yang mana Islam, yang mana Arab? Islam sudah diterima baik2 lo di tanah Jawa. Agama lokal Kejawen bahkan "rela" meleburkan ajarannya dengan agama-agama impor, termasuk Islam. Sudah semestinya kan Islam menghormati sang tuan rumah?

Kalo kita lihat awal2nya, para wali justru sangat menghormati budaya Jawa, dan ingin agar Islam di Jawa adalah menjadi Islam Jawa, bukan Islam Arab. Sunan Kalijaga misalnya, dia berdakwah menggunakan wayang dan gamnelan yang mudah diterima masyarakat Jawa. Supaya apa? Supaya orang Jawa ya jadi Islam Jawa. Seperti orang Afrika ya jadi Islam Afrika, orang Eropa ya jadi Islam Eropa, dan seterusnya. Sunan Kalijaga sebenarnya sungguh merupakan tokoh Islam pelopor yang telah mampu meletakkan pondasi Islam yang baik di tanah Jawa. Bersinkretisme mesra dengan Kejawen. Dan merangkul hangat adat tradisi Jawa.

Eh la sekarang wong2 Jowo kok malah pada kurang ajar. Ora podo ngurmati tanah leluhure dewe. Dengan alasan sebagai Islam, maka praktek adat-tradisi Jawa disingkang2, diidak2, dipancal, diharamkan! Patung-patung kesenian pewayangan Jawa dibakar. Anak yang baru lahir tidak lagi dinamai dengan nama-nama Jawa. Kata-kata dalam percakapan sehari2 tidak lagi dengan bahasa Jawa. Semua yang berbau Jawa diganti Arab! Kualat tenan. Seakan lupa dengan sejarah terbentuknya Islam sendiri di tanah Jawa. La ya kalo begini benar saja Ki Dalang tadi bilang, "Yang sekarang ASI kalo ada arabisasi lama2 bisa jadi ASU. Air Susu Ummi."

Anehnya lagi, disaat terjadi westernisasi para tokoh lantang berteriak, "Ini modernisasi, bukan westernisasi." La sekarang kemana suara para tokoh itu? Cep klakep. Ga ada yang berani/ mau berbicara. Andaikan pun mereka tidak mendukung arabisasi, toh mereka juga tidak menolaknya. Patung dibakar, pemerintah diam. Kebatinan diharamkan, presiden diam.

Nah lo? Piye jal nek ngene iki? Pengen dadi Said, opo tetep dadi Jowo, dab? Nek misale kowe dadi ustadz/ustadzah kowe bakal ngomong opo: Saya ini InsyaAllah berhati Arab? Atau: Saya ini walaupun Islam, tetapi InsyaAllah berhati Jawa? Njelimet yo pitakonnku? Tapi sebelum dijawab, ijinkan saya nyuwun ngapura dulu. Karena sebelum anda-anda semua kualat, sepertinya saya tetap yang akan kualat duluan. Karena ilmu saya cetek. Saya ga tau apa-apa soal Jawa, soal Islam, apalagi soal Arab. Eh, tapi ini malah sok tau, berani mbahas tiga2nya sekaligus. Nyuwun ngapura nggih, saestu kula nyuwun ngapura..

Selasa, 03 Januari 2012

CARPE DIEM!


Carpe Diem! Nikmatilah, kuasailah harimu! Kira-kira itulah pesan yang ingin disampaikan oleh pepatah diatas. Dalam nuansa menyongsong tahun baru 2012, banyak diantara kita yang sudah mengantungkan sejuta harapan, beragam resolusi, berbagai impian dan doa yang diharapkan dapat terwujud di tahun yang baru berjalan ini. Banyak juga yang telah berefleksi tentang tahun 2011 yang baru saja berlalu, menyisakan berbagai memori dan kenangan. Mencoba bercermin, memandang apa saja pencapaian yang sudah diperoleh selama setahun yang lalu.

Memang tidak ada yang salah apabila kita sejenak bercermin. Kita memang sesekali perlu berhenti melangkah. Sejenak meninggalkan deru dunia dan hanya memandangnya. Memandang diri kita juga. Merenung kesalahan apa yang telah kita perbuat serta keberhasilan apa yang telah kita raih. Melihat sejauh mana kita bertolak dari titik awal kita melangkah. Memutuskan sudah seberapa bertambahkah kualitas diri kita dari waktu ke waktu. Namun, terkadang refleksi dapat menghanyutkan kita dalam kenangan. Padahal dengan bercermin, kita tidak perlu kemudian larut dalam kehidupan di masa lalu. Itu hanyalah kenangan, yang pasti tidak bisa kita kuasai.

Pun tidak ada yang salah apabila kita memenuhi tahun baru dengan setumpuk mimpi dan harapan. Kita memang memerlukan mimpi-mimpi agar hidup kita memiliki tujuan. Tanpa berani untuk menggantung asa, kita akan menjumpai stagnasi. Dalam titik stagnasi tersbut, dapat dikatakan kita sesungguhnya telah "mati". Oleh sebab itu, sah-sah saja, bahkan setiap orang harus memiliki segudang mimpi, harapan, tujuan, dan cita-cita. Perlu memiliki suatu idealisme yang seakan utopis untuk diperjuangkan. Perlu memiliki keyakinan akan masa depan untuk memberi pemaknaan hidup. Perlu memiliki optimisme dalam memandang masa depan. Namun yang lebih penting, setelah selesai bermimpi tentang masa depan, kita tetap harus hidup di hari ini. Masa depan sama halnya dengan masa lalu, itu hanyalah periode waktu yang secara nyata tidak dalam genggaman kita.

Hanya hari inilah yang bisa kita perjuangkan. Semua refleksi dan resolusi tidaklah berguna jika kita tidak mampu menghidupi hari ini. Jutaaan mimpi dan harapan hanyalah omong kosong jika sepanjang tanggal 1 Januari saja kita memulai tahun dengan tidur di rumah hanya karena libur. Kemeriahan pergantian tahun, sekadar menjadi sampah seremonial. Setiap hari, waktu berjalan dan berganti. Seiring dengan itulah, kita akan terus menguasai hari ini. Bukan hari kemarin atau hari esok, melainkan hari ini. Oleh sebab itu, berhenti meratapi kenangan, stop terpesona dengan impian, dan nikmatilah hari ini dengan penuh pemaknaan. Nikmati saja, karena hari ini tidak akan berulang di lain hari. Melangkahlah dengan senyum dan tawa. Ingatlah bahwa di hari ini kamu adalah yang berkuasa. Jadi jangan pernah sia-siakan kuasamu atas hari ini. Sekali lagi, CARPE DIEM!