Selasa, 29 November 2011

Permisi....


"Permisi" adalah sebuah kata yang sangat umum dijumpai dalam berbagai tradisi. Dalam bahasa yang menyesuaikan pula tentu saja. Kata ini lazim dimaknai sebagai sikap menjaga "unggah-ungguh" (sopan-santun). Bertujuan bagi seseorang yang baru saja memasuki suatu rumah/ wilayah (tamu/ warga baru/ anggota keluarga yang baru pulang dari bepergian) untuk menyapa dan memohon ijin masuk kepada orang/ sekelompok orang yang memiliki atau sedang berada di rumah/ wilayah tersebut.

Dalam tradisi Jawa, permisi yang lebih sering disebut "kulo nuwun" seringkali salah dimaknai sebagai basa-basi/ "say hello" belaka. Karena ada anggapan tidak mungkin tuan rumha menolak tamu yang sudah bilang permisi. Namun, anggapan ini tidak sepenuhnya benar.

Tradisi Jawa melalui "kulo nuwun" mencoba bermaksud mengajarkan keramah-tamahan dan kerendah hatian baik kepada tamu maupun tuan rumah. Tamu sebenarnya bisa saja nyelonong masuk tanpa permisi. Terlebih kalau disini yang dimaksud tamu adalah warga baru di suatu wilayah, bukan rumah. Tentunya dia bisa saja langsung masuk dan menjalani kehidupan di tempat itu tanpa perlu repot-repot permisi. Toh, logikanya nanti warga sekitar juga pasti akan menyadari kehadirannya. Tapi melalui "kulo nuwun", warga baru diminta secara aktif dan rendah hati untuk memperkenalkan dirinya kepada warga lama, serta memohon untuk dapat diterima sebagai warga di wilayah tersebut. Biasanya warga lama yang dimaksud di sini diwakilkan oleh figur Ketua RT atau melalui forum kumpul RT yang dijamu oleh warga baru.

Warga lama pun sebenarnya bisa saja acuh tak acuh dengan kehadiran warga baru. Atau sesuai dengan gaya hidup di perkotaan saat ini, siapa yang butuh dia yang datang. Dengan anggapan demikian, dapat saja warga lama yang justru menghampiri warga baru terlebih dahulu, entah mungkin karena butuh bantuan tenaga, uang, dll. Proses hubungan sosial yang terjadi disini adalah hubungan "kalo butuh doang". Melalui "kulo nuwun" juga lah, warga lama diminta secara rendah hati dan terbuka menerima kehadiran dan itikad baik si warga baru dengan tanpa syarat. Walaupun secara logika, mereka juga diperbolehkan dan sah-sah saja menolak kehadiran warga baru tersebut apabila kehadirannya dianggap mengganggu lingkungan mereka.

Proses perkenalan ini juga lazimnya tetap dibalut dengan nuansa kesederhanaan. Warga baru dapat saja memberikan sesuatu ala kadarnya kepada warga lama, sejauh tidak terbebani, sesuai kemampuan ekonominya, (misalnya memberikan suguhan dan wedangan apabila menjamu kumpul RT atau memberi bingkisan untuk Ketua RT apabila sedang "sowan" pertama kali ke Ketua RT). Warga lama pun juga diajarkan untuk tidak menuntut sesuatu yang neko-neko apalagi terkesan memeras sesuatu/ "malak", terlebih yang bersifat materiil, dari warga baru. Mereka dituntut pula oleh tradisi untuk bersikap terbuka terhadap kehadiran warga baru, apapun sifat dan kondisinya, sejauh itikadnya baik.

Tampak jelas disini, bahwa "kulo nuwun" atau permisi versi Jawa memiliki pemaknaan yang mendalam dan penuh filosofi. Makna tersebut tersirat dari semangat keterbukaan, kerendahhatian, penerimaan terhadap hal baru, dan yang terpenting semangat kesederhanaan. Maka menjadi sangat disayangkan, apabila seiring dengan "pengkotaan" sejumlah daerah di Jawa, tradisi ini menjadi dilaksanakan sebagai ritual belaka, dengan melupakan makna-makna luhurnya. Atau dilaksanakan dengan pemaknaan-pemaknaan baru yang mungkin sedikit banyak tercerabut dari akar filosofis dasar tradisinya.

Jumat, 18 November 2011

Sportivitas Mental


Kemarin malem, para pecinta bola Indonesia disuguhi lagi tontonan panas yang sarat gengsi dalam perhelatan SEA Games, yaitu partai Indonesia vs Malaysia. Buat Malaysia, partai ini sedikit lebih penting daripada buat Indonesia. Coz, kalo Malaysia kalah n Singapura di partai lain menang, poin mereka bakal sama n siapa yang lolos ke semifinal bakal ditentuin ama jumlah selisih gol. Lain halnya buat kubu Indonesia. Kalah, seri, ato menang, Indonesia tetep udah pasti lolos ke semifinal. Jadi buat Indonesia, laga ini bener-bener punya arti penting karna sarat gengsi doang. Gengsi buat lolos dengan status juara grup A, plus gengsi superioritas atas Malaysia.

Semua orang pasti udah tau, kalo salah satu hal yang bikin laga sepakbola antara Indonesia n Malaysia panas antara lain karna diluar lapangan sering banget ada konflik antar 2 negara tetangga ini. Jadi wajar aja kalo puluhan ribu suporter Indonesia keliatan banget tetep setia “memerahkan” GBK. Walaupun mereka pasti juga udah tau kalo apapun hasil laga ini Indonesia tetep aja lolos ke semifinal.

Dan bener aja kefanatikan supporter Indonesia bisa diliat kemarin malem. Sayangnya, perilaku fanatik itu lebih mengarah ke sikap yang sama sekali ga sportif, kalo ga mau dibilang ga beradab. Perilaku supporter kayaknya lebih menjurus ke ngganggu pertandingan daripada ndukung Tim Garuda. Dari pertandingan belum dimulai sampe selesai, suporter slalu niup terompet n bunyi2an lain, dan bukannya nyanyiin yel-yel dukungan, ato meragakan gerakan2 plus tepuk tangan yang kreatif bin suportif. Ga beda jauh ama yang namanya Vuvuzela waktu World Cup 2010 South Africa yang lalu. Cuma 3 kata: bikin bising doang.

Penyesalan tambah dalem pas laga mau dimulai, n lagu kebangsaan kedua tim dikumandangkan. Suporter tetep aja menuhin seisi stadion pake suara terompet lan konco-konconipun waktu lagu “Negaraku” (Malaysia’s national anthem) dinyanyiin. Padahal waktu “Indonesia Raya” dinyanyiin, seisi stadion juga bisa ikut nyanyi dengan khidmat dan saat itu suara-suara selain musik pengiring “Indonesia Raya” ga kedengeran sama sekali. Perilaku macem apa ini? Kebangeten! Orak gentle ndiess!

Sayangnya perilaku ga sportif ini juga keliatan di lapangan, di tubuh Squad Merah Putih. Habis ketinggalan 0-1 di babak pertama, yang emang didominasi permainan Malaysia, kelakuan para personil Tim Garuda makin bikin miris. Permainan emang sedikit lebih berkembang, tapi emosi pemain kayak ga bisa dikendaliin sama sekali. Hal ini kliatan pas kipper Malaysia, Khairul Fahmi, kepeleset waktu ngelakuin tendangan gawang, para pemain Indonesia ga ada yang ngelakuin fair play ball (sengaja mbuang bola keluar lapangan karena pemain tim lawan ada yang cedera tapi ga diitung sebagai pelanggaran, supaya tim medis bisa masuk ke lapangan). Kepaksa pemain2 Malaysia harus ngrebut bola dulu dari pemain2 Indonesia supaya bisa ditendang keluar lapangan. Hal sebaliknya terjadi waktu salah satu pemain Indonesia, Lestaluhu Ramdani, juga kepeleset di tengah lapangan. Pemain Malaysia justru langsung ngelakuin fair play ball.

Selain itu, para pemain Indonesia juga kliatan ga bisa jaga emosi karna sering banget ngelakuin sliding tackle berbahaya saat bola dikuasai pemain Malaysia. Tackle 2 kaki maupun tackle dari belakang menjadi suguhan yang disajikan Tim Garuda sepanjang babak kedua. Sampe2 beberapa pemain Indonesia kayak Ferdinand Sinaga dan Diego Michels harus dapet kartu kuning. Untuk Ferdinand, sebenernya Indoesia bisa bersyukur dia cuman dapet kartu kuning doang kalo liat aksi2nya selama pertandingan tadi yang bisa aja diganjar kartu merah.

Melihat kejadian2 seperti itu, pantesnya kita berefleksi. Wajar Indonesia punya ekspektasi tinggi di SEA Games yang kali ini digelar di negeri sendiri. Tapi kita juga harusnya jangan lupa kalo kita punya peran ganda. Selain jadi peserta, kita juga jadi tuan rumah SEA Games. Jadi tuan rumah, tentunya kita harus menyambut kehadiran tamu2 kita dengan sikap baik dan pantas. Keramahan yang (katanya) menjadi ciri khas bangsa kita, akan bener2 dinilai. Ditambah lagi, karena adanya spirit kompetisi dalam pesta olahraga ini, sportivitas pun juga harus ikut dijaga. Maka, kejadian2 yang kayak tadi tentunya ga bisa lagi ditolerir. Oke kita malu secara gengsi kalo kalah dari Malaysia. Tapi kita bakal lebih malu lagi kalo udah kalah, kelakuan kita juga ga sportif. Kelakuan kayak gitu rasanya jelas lebih malu2in daripada sekadar kekalahan 0-1. Kita ini tuan rumah bung!

Mentalitas sportif seharusnya bener2 ditanemin lagi kedalem bangsa ini. Coz kita ga mau juga kan kalo lawan kita di semifinal (entah Myanmar ato Vietnam) ngetawain kita dalem hati gara2 pemain2 kunci kita dihujani kartu di pertandingan yang jelas2 udah ga nentuin langkah kita tapi secara lebay kita anggep penting banget? Apa kita mau karna kekonyolan yang kayak gitu, para pemain kita juga kena cedera n capek fisik-emosi sehingga malah ga bisa tampil maksimal di babak selanjutnya? Inget target kita medali emas, bukan kemenangan di satu partai lawan Malaysia.

Jangan lupa kita pernah punya pengalaman buruk di Piala AFF lalu yang juga didapat dari Malaysia. Dimana ekspektasi berlebih dari suporter n kejumawaan pemain bisa mbikin gelar yang udah di depan mata lepas dari genggaman. Inget kalo 2 hal itu juga bagian dari sikap mental yang ga sportif. Sekali lagi buat para pemain n suporter bersikaplah layaknya juara. Tetep bersikap wajar dan membumi, hargai setiap lawan, fokus pada usaha dan bukan hasil akhir, kontrol emosi baik2 di dalem n luar lapangan. Coz, mental seorang juaralah yang pada akhirnya bakal bener2 bikin sebuah tim bisa berdiri dengan kepala tegak di atas podium juara.

Rabu, 09 November 2011

Cocotee... Bal-balan ki olahraga sangar ndes!

Pagi ini aku dapet jadwal kuliah yang anjrit banget. JAM 7 PAGI! Sekali lagi, JAM 7 PAGI! Damput banget jadwalku, padahal tiap hari aja aku paling cepet bangun jam 7, kalo normal jam 7.30 baru bangun. Tapi dengan sedikit diiringi niat dan doa (tumben banget ni ada acara berdoa segala) bisa juga aku bangun pagi sebelum jam 7.

Tapi ajaibnya, prestasi membanggakan untuk bisa bangun pagi itu ternyata ga ngaruh sama sekali ama ke-onime-an masuk kuliah. Aku tetep aja rada-rada telat masuk kuliah. Dan kepekokanku yang menjadi sebab musabab ketelatan ini yaitu adalah, hobiku baca koran pagi. (Ni prestasi juga lho sebenernya. Ditengah kritikan pedas tentang minat baca kaum muda yang dianggap rendah, aku masih hobi baca koran. Malah aku ada-adain duit buat langganan koran juga tiap bulan). Langsung aja abis bangun, aku nyamber tu koran, buka halaman olahraga, dan langsung nongol tulisan tentang timnas sepakbola Indonesia membantai Kamboja di ajang SEA Games. Langsung aku baca dengan khusyuk ulasan yang ada di tu koran.

Setelah aku slese baca, aku ngrenung betapa sepakbola bener-bener bisa nyatuin bangsa ini. Kita liat aja betapa bangsa ini pun seakan nganggep nasionalisme itu beneran ada cuma kalo timnas (sepakbola) maen. (Iki fakta sing damput banget sih sakjane. Mosok nasionalisme mung dianggep dalam pengertian sesempit itu?) Aksi dukung-mendukung timnas Indonesia itu bahkan bisa disejajarin sama hooligan-nya Inggris. (Sayang, Indonesia ma Inggris ga pernah ketemu di World Cup, so Inggris masih aja bisa nyombong tentang hooligan-nya yang dianggep suporter paling fanatik di dunia.) Mulai aksi yel-yel, nyanyi-nyanyi, sampe nyumet mercon kalo ada gol semua bisa dilakuin sama suporter Indonesia. Saking kagumnya, apalagi kalo liat suasana stadion sebelum timnas Indonesia maen n nyanyiin lagu kebangsaan, sampe-sampe aku selalu cuma bisa berkata satu kata dalam hati: "Cocoteeee...."

Unsur pemersatu itu ga cuma ada di tribun penonton, tapi juga keliatan banget di lapangan. Liat aja gimana penampilan sebelas putra bangsa terpilih yang dicomot dari Sabang-Merauke. Mereka jelas-jelas penuh perbedaan. Ada yang item-item, ada yang putih-putih, malah ada juga yang indo-indo (blasteran). Ada juga yang tinggi-tinggi, ada yang pendek-pendek (tapi ini tetep yang paling banyak sih), dsb. Ada yang dari Batak, Padang, Sunda, Jawa, Bugis, Ambon, Flores, Papua, blasteran, campuran, oplosan, dsb. Tapi itu semua ga pernah jadi masalah di lapangan. Sekali lagi kalo lagi mengamati fakta ini, aku cuma bisa berkata dalam hati: "Cocoteeee...."

Satu kehebatan lagi, kayaknya sepakbola juga bisa menjadi pengalih isu-isu politik yang paling menyenangkan buat seluruh masyarakat Indonesia. Kita liat aja, sekarang ini situasi politik di Papua lagi panas-panasnya. Mulai dari kasus daerah otonomi khusus, demo Freeport, kekerasan TNI terhadap warga setempat, dan isu-isu lain yang beragam jenisnya. Itu sama sekali ga mempengaruhi performa personil timnas yang notabene juga putra Papua. Mereka ga mutung n mogok maen karna daerahnya lagi dilanda konflik. Mereka dan anggota timnas lainnya selama 90 menit pertandingan kayaknya bener-bener bisa nglupain segala masalah di bumi pertiwi ini hanya dengan bermain sepakbola. Buktinya 3 dari 6 gol Indonesia ke gawang Kamboja pada pertandingan kemarin dicetak oleh 2 putra Papua. Betapa bisa diliat rasa tanggung jawab, loyalitas, dan nasionalisme mereka sangat jauh lebih tinggi daripada rasa tanggung jawab, loyalitas, dan nasionalisme pemerintah yang tampaknya sengaja melupakan masalah-masalah di daerah asal mereka. Itu semua lagi-lagi hanya dapat terjadi di negeri ini melalui media perantara bernama sepakbola. Sekali lagi, kita dapat kumandangkan (ojo dibatin meneh, iki tenanan sangar lo): "Cocoteeeee...."

Wes ah nulise, sudah cukup cocotan-cocotan yang saya cocotkan hari ini. Semoga aja segala gumaman kekaguman terhadap daya magis sepakbola yang tergambar melalui ungkapan "cocotee..." ini dapat terus digumamkan dan dikumandangkan oleh seluruh bangsa sebagai wujud dukungan terhadap Indonesia, sehingga timnas sepakbola Indonesia dapat meraih medali emas, dan nantinya bisa jadi juara umum SEA Games pula. Amiiiiinnnnn.... (Ingat, doa orang teraniaya biasanya dikabulkan. Jadi bagi kalian yang merasa hidup teraniaya di bumi pertiwi ini, doakanlah para atlet negeri ini agar bisa memperoleh kemenangan di setiap laga n nantinya Indonesia bisa jadi juara umum. Amiiiinnnn....)

Selasa, 01 November 2011

Anreligi

Uopooo kui anreligi? Aneh-aneh wae nek nggawe istilah. (Buat yang ga mudeng bahasa jawa, belajarlah. Hehe..)Mungkin itu pendapat orang-orang yang denger istilahku ini. Ini sebenernya istilah yang aku bikin buat nggambarin apa yang aku anut. Bukan agama sih tepatnya, karena sejauh belasan taun aku hidup aku akhirnya lebih memilih percaya Tuhan dan ga peduli sama agama. Bukan ateis lo masbro, soalnya aku percaya ma Tuhan. Tapi aku ngerasa ada sesuatu yang ga sreg dengan agama. Karna kalo kita kritis, diliat dari sudut tertentu agama bisa aja sama kotornya ma yang namanya politik. Liat aja deh lembaga yang korupnya paling gede apa? Kementerian Agama kan?

Walopun agama apapun ajarannya pasti baik, menurutku tetep aja yang namanya agama tu identik ma perang, rebut-rebutan pengikut, debat kusir, penghambat ilmu pengetahuan, dsb. Malah kadang ajaran-ajaran agama juga bisa aja bertentangan ma nurani. Selain itu, karena aku (kayaknya) masih cukup nasionalis, aku sadar sepenuhnya kalo 6 agama yang diakui pemerintah tu agama asing semua. Kalo bikin KTP juga kolom agama kudu diisi dengan option cuma 6 itu. Pada kemana local wisdom? Jauh sebelum asing masuk n akhirnya menjajah kita, bukannya kita punya agama-agama lokal? Sekarang tu semua kayaknya udah ga dianggep dan cuma dikategoriin kepercayaan (tetep gabisa buat ngisi kolom di KTP deh kayaknya). Itu kalo beruntung, kalo apes malah bisa mampus dianggep aliran sesat ma agama-agama yang mainstream. (Kayaknya para mainstreamer tu pada ga ada yang sadar yang namanya asimilasi, akulturasi, sinkretisme, dkk deh.)

Aku sampe tahap gini juga bukan lewat tahap yang singkat lo. Aku justru suka baca buku-buku keagamaan (kalo ada yang bagus), dari agama apa aja. Dan semakin aku baca, justru aku semakin nganggep semua ajaran agama tu bener-bener bisa jadi norma/ pedoman hidup yang bagus kalo aja embel-embel agamanya dihapus. Jadi semua orang bisa ngikut ajaran-ajaran yang baik tanpa harus repot-repot pindah agama. Ya makanya jadilah aku kayak sekarang ini.

Gitu dulu deh tentang anreligi. Satu pesan: Anreligi ini bukan untuk disebarluaskan, apalagi diikuti secara massal. Coz ini cuma pencarian pribadiku mencari jalan menuju sosok Tuhan YME. Namanya juga pribadi, pasti segala sesuatunya cocok buat aku tapi belom tentu buat orang lain. Oke, mending tidur dulu deh, yang penting masalah kudu njelasin anreligi udah beres. Thx God.